ROOSSENO, Bapak Beton Indonesia
Tulisan dibawah ini dibuat Prof.Dr.Ir. Wiratman Wangsadinata, lulusan ITB (dulu UI) tahun 1960 yang telah dimuat di Harian Kompas 2 Agustus 2008.Tanggal 2 Agustus 2008 adalah tepat 100 tahun kelahiran Prof. DR (HC) Ir. Roosseno dan sehubungan dengan itu alangkah baiknya kita simak kembali jasa-jasanya sebagai pelopor di bidang ilmu beton, inovator dalam memecahkan berbagai masalah Teknik Sipil, pendidik kharismatik, pendorong generasi muda untuk mempertebal rasa percaya diri dan percaya akan kemampuan bangsa Indonesia sendiri.
Penulis sebagai mantan mahasiswanya, mantan asistennya, mantan mitra kerjanya dan mantan sesama konsultan sebelum ia meninggal pada tahun 1996 sempat mengikuti semua itu. Predikat Bapak Beton Indonesia tepat sekali diberikan kepada Pak Roosseno. Sejak ia bekerja di Departement van Verkeer en Waterstaat tahun 1935, ia berhasil meyakinkan atasan-atasannya, untuk mengutamakan penggunaan beton dalam pembangunan jembatan di Indonesia.
Alasannya, bahan-bahan dasar beton seperti pasir, batu pecah, semen dan kayu perancah dapat dibeli di Indonesia sendiri, sehingga biaya pengadaannya akan masuk ke dalam kantong rakyat dan ikut mensejahterakan rakyat. Ini merupakan kebijaksanaan langka Pemerintah kolonial Belanda yang berpihak pada kepentingan rakyat Indonesia. Di masa pendudukan Jepang, tanggal 1 April 1944 Pak Roosseno diangkat menjadi Guru Besar (Kyodju) dalam bidang Ilmu Beton di Bandung Kogyo Daigako. Kemudian, sebagai orang swasta yang baru hijrah dari Yogyakarta ke Jakarta, tanggal 26 Maret 1949 ia diangkat menjadi Guru Besar Luar Biasa dalam bidang Ilmu Beton di Universiteit van Indonesiё, Faculteit van Technische Wetenschap di Bandung. Pak Roosseno menulis buku ajar beton pertama dalam bahasa Indonesia tahun 1954.
Beton pratekan mulai diperkenalkan di Indonesia oleh Pak Roosseno melalui kuliah-kuliahnya di ITB tahun 1949, juga melalui tulisan-tulisan dalam Majalah Insinyur Indonesia tahun 1959.
Struktur beton pratekan pertama di Indonesia akhirnya terwujud dalam tahun 1961 pada pelataran Monumen Nasional berukuran 45m x 45m dan pada Jembatan Semanggi di Jakarta berbentang 50m. Pelataran Monumen Nasional direncanakan oleh Pak Roosseno dengan sistem prategangan Freyssinet dari Perancis dan dilaksanakan PN. Adhi Karya. Jembatan Semanggi direncanakan dan dilaksanakan PN. Hutama Karya di bawah pimpinan Ir. Sutami dengan sistem prategangan BBRV dari Swiss. Dalam mendorong rasa percaya diri dan percaya akan kemampuan bangsa Indonesia sendiri, dalam pidato pengukuhan jabatan Guru Besar pada Universiteit van IndonesiŃ‘ di Bandung tanggal 26 Maret 1949 dan dalam pidato pengukuhan Doktor Honoris Causa di ITB tanggal 25 Maret 1977, Pak Roosseno menyanggah isi syair sastrawan Inggris Rudyard Kipling (1865 – 1936): “Oh, East is East, and West is West, and never the twain shall meet”. Syair ini menyatakan, bahwa orang Timur tidak mungkin dapat mencapai kesetaraan dengan orang Barat, suatu ungkapan yang sangat menyakitkan hati. Karena itu, Pak Roosseno mengajak seluruh generasi muda untuk membuktikan, bahwa sajak itu seharusnya berbunyi: “Oh, East is East, and West is West, but this time the twain shall meet”. Pak Roosseno sendiri telah membuktikannya, dengan lulus dari Technische Hooge School Bandung tanggal 1 Mei 1932 dengan nilai tertinggi di antara 7 orang Belanda dan 1 orang Tionghoa. Dalam menghadapi pihak asing semboyan harus percaya akan kemampuan nasional, sering diucapkan Pak Roosseno. Bahwa hal ini benar, terbukti dari berbagai peristiwa. Ketika di awal tahun 1970-an pembangunan gedung tinggi mulai merebak, Gubernur Ali Sadikin membentuk Tim Penasehat Konstruksi Bangunan (TPKB) tanggal 1 Juli 1972 dengan Pak Roosseno sebagai Ketua dan Penulis sebagai Wakil Ketua, dengan tugas memeriksa rencana gedung-gedung tinggi tersebut. Setelah diperiksa oleh TPKB banyak rencana konsultan asing yang “ngawur”. Pertamina Tower (sekarang Gedung BPPT-I), tahun 1973 dihentikan pembangunannya oleh Pemda DKI atas rekomendasi TPKB, karena perencanaan strukturnya terhadap gempa tidak betul. Pak Roosseno mengabdi di TPKB sampai akhir hayatnya (1972 – 1996), dan sampai tahun 1990 adalah Ketuanya.Pada tahun 1972 proyek pemugaran Candi Borobudur mendapat bantuan dari UNESCO dan suatu International Consultative Committee dibentuk untuk mengawasi aspek-aspek teknis pemugaran. Anggotanya terdiri dari ahli-ahli pemugaran dari 5 negara, yaitu Jepang, Amerika Serikat, Belgia, Jerman (Barat) dan Indonesia.
Pak Roosseno yang mewakili Indonesia ditunjuk sebagai Ketua dan Penulis sebagai Asisten. Pekerjaan pemugaran terdiri dari pembongkaran 2 juta batu dan batu arca, pemasangan pelat-pelat fondasi beton serta sistem pipa drainase, dan pemasangan kembali batu dan batu arca ke tempatnya semula. Karena penanganan masalah kestabilan lereng bukit Borobudur oleh 2 konsultan UNESCO bertele-tele dan tidak tuntas, tahun 1975 Pak Roosseno meminta Penulis untuk mengambil alih penanganan masalah ini. Untuk itu dibentuklah tim yang terdiri dari Penulis, Ir. Aziz Djayaputra dan 2 insinyur yang baru lulus waktu itu Ir. FX. Toha dan Ir. Indradjati Sidi. Laporan final akhirnya rampung yang menyimpulkan, bahwa semua tahap pemugaran adalah aman terhadap kelongsoran dan faktor keamanan jangka panjangnya adalah cukup memadai. Laporan ini disetujui oleh International Consultative Committee di Candi Borobudur tanggal 27 April 1976, sehingga pekerjaan fisik pemugaran dapat dimulai. Dengan begitu Pak Roosseno telah membuktikan, bahwa tim ahli nasional dapat diandalkan, bahkan lebih dari konsultan asing. Penyelesaian pemugaran Candi Borobudur diresmikan oleh Presiden Soeharto tanggal 23 Februari 1983. Ketahanan Candi Borobudur terhadap gempa kuat telah teruji, ketika terjadi Gempa Bantul tanggal 27 Mei 2006 dengan magnitudo 6,3 Skala Richter, kedalaman 10 km dan jarak episenter dari Candi Borobudur sekitar 45 km. Ketika itu Candi Borobudur sama sekali tidak mengalami kelongsoran atau kerusakan.Transfer of Technology telah terjadi tahun 1973 pada pembangunan Jembatan Rantau Berangin yang melintasi Sungai Batanghari di Riau. Jembatan yang merupakan jembatan beton pratekan pertama di Indonesia yang dibangun dengan metoda kantilever segmental (freie Vorbau) direncanakan oleh konsultan Belanda NV. IBIS dan dilaksanakan oleh PN. Waskita Karya dengan Pak Roosseno selaku penasehatnya. Panjang jembatan seluruhnya adalah 200m dengan bentang tengah 120m dan ke dua bentang samping 40m. Dalam proyek ini Pak Roosseno berhasil menyerap semua hal baru yang berkaitan dengan perencanaan dan pelaksanaan jembatan jenis baru ini. Dua tahun kemudian pada tahun 1975 jembatan serupa dibangun PN. Waskita Karya di atas Sungai Citarum di Rajamandala, dengan panjang total 222m dengan bentang tengah 132m dan ke dua bentang samping 45m. Dengan berbekal pengetahuan yang diperoleh dari proyek Jembatan Rantau Berangin, perencanaannya sepenuhnya dapat dilakukan oleh insinyur-insinyur Indonesia (termasuk Penulis) di bawah pengarahan Pak Roosseno. Transfer of technology telah terjadi efektif dan nyata.Dalam bidang ilmu beton dan Teknik Sipil Pak Roosseno telah menghasilkan berbagai-bagai solusi yang inovatif yang disajikan dalam banyak publikasi. Pak Roosseno telah terlibat dalam banyak proyek penting sebagai Penasehat Pemilik Proyek, Penasehat Kontraktor atau sebagai Konsultan, seperti pada proyek-proyek Bank Indonesia, Gedung Sarinah, Hotel Indonesia, Wisma Nusantara, Samudera Beach Hotel, Ambarukmo Hotel, Bali Beach Hotel, Masjid Istiqlal, Dermaga Tanjung Priok dan lain-lain. Saat ini untuk berbagai inovasi, Pak Roosseno masih memegang patennya.Di samping banyak sekali ceritera sukses, ada juga yang kurang sukses mengenai buah karya Pak Roosseno. Yang pertama mengenai Jembatan Sarinah berbentang 40m di atas Jalan Wahid Hasyim, Jakarta, yang runtuh tanggal 28 Februari 1981 akibat putusnya balok tarik beton pratekan penahan gaya reaksi horisontal di bawah Jalan Wahid Hasyim, karena baja prategangnya berkarat. Kekecewaan ke dua bagi Pak Roosseno adalah tidak berhasilnya gagasan meningkatkan daya pikul gelegar komposit baja-beton dengan memberikan prakompresi dengan mengerjakan gaya horisontal dengan dongkrak pipih (flat jack) pada pelat betonnya. Sistem ini dicoba pada Jembatan Kali Ciliwung di Condet yang terdiri dari 3 bentang 24m, 48m dan 24m. Namun selang beberapa waktu prakompresinya hilang, sehingga jembatan harus diperkuat tahun 1994. Hal ini menunjukkan, bahwa pemberian prakompresi melalui transfer gaya tekan dari pelat beton ke gelegar baja masih harus diteliti lebih lanjut. Namun, Pak Roosseno tidak sempat menyelesaikan penelitian ini, karena keburu dipanggil oleh Sang Khalik pada tanggal 15 Juni 1996 dalam usia 88 tahun.Pak Roosseno tetap tegar sampai akhir hayatnya, pantang menyerah dalam menghadapi berbagai tantangan baik dalam hidup maupun bidang profesi, dilandasi oleh jiwa pengabdian untuk kemajuan dan kejayaan Tanah Air dan Bangsa. Yang jelas menjelang akhir hayat dalam usia senja, Pak Roosseno tampak bahagia dan bangga melihat mantan-mantan mahasiswanya dan generasi muda pada umumnya telah berhasil mengambil alih tongkat estafet pengembangan keinsinyuran di Indonesia dari tangannya.
(Sumber : Tokoh - Tempo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar